PENGERTIAN UMUM SENGKETA INTERNASIONAL.
Penyelesaian Sengketa Internasional tidak hanya meliputi sengketa antar
negara, tetapi juga sengketa antar satu negara dengan individu atau badan
hukum dan orgnasisa kesatuan bukan negara yang terjadi dalam lingkungan
peraturan Internasional, seperti yang dikemukakan oleh George Ellien sebagai
berikut :
"Proses dua konferensi yang diadakan itu, mempunyai nilai sejarah untuk
perkembangan hukum Internasional di era moderen ini, telah diperkenalkan dan
dikembangkan sesuai dengan keberadaan beberapa prinsip hukum Internasional
dalam masalah peperangan"
Sehubungan dengan pengertian Sengketa Internasional seperti termasuk, saya
akan memberikan beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan pengertian di
atas.
Contoh kasus atara Negara dengan badan hukum seperti kasus yang
melibatkan Indonesia dengan perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah
Republik Indonesia pada tahun 1961. Pemerintah Republik Indonesia dalam
rangka merubah struktur ekonomi nasional, melakukan tindakan nasionalisme
perusahaan – perusahaan milik Belanda. Atas tindakan yang dilakukan
pemerintah Republik Indonesia tersebut, perusahaan Belanda menggugat
pemerintah Republik Indonesia di Mahkamah Internasional. Kasus yang
melibatkan Negara dengan negara seperti yang terjadi antara Palestina dengan
Israel mengenai wilayah sengketa di dataran tinggi Golan dan Jalur Gaza
serta wilayah Yerusalem yang sampai dewasa ini belum terselesaikan. Kasus
yang melibatkan Negara dan Kuwait akibat pelanggaran perjanjian yang dibuat
antara kedua Negara, mengakibatkan pecahnya perang teluk dan mengakibatkan
banyak Negara dalam perang.
SENGKETA HUKUM DAN SENGKETA POLITIK
Fungsi hukum internasional dalam konteks ilmu hukum, sebagaimana diuraikan
dalam berbagai buku teks, dipahami sebagai suatu aturan atau kaedah yang
berlaku bagi subyeknya. Fungsi tersebut sebenarnya merupakan salah satu dari
berbagai fungsi hokum internasional. Padahal ada fungsi lain yaitu hukum
internasional sebagai instrumen yang digunakan oleh pemerintahan suatu
negara untuk mencapai tujuan nasionalnya (International law as instrument of
national policy).
Eksistensi hukum Iinternasional yang berfungsi sebagai
instrumen politik didasarkan pada realitas hubungan antar negara. Hubungan
antar negara tidak lepas dari kepentingan yang saling bersinggungan.
Terlebih lagi di era global dimana batas fisik seolah tidak ada
(borderless). Suatu negara akan menggunakan berbagai instrumen politik,
seperti ketergantungan ekonomi, ketergantungan dalam masalah pertahanan, dan
hukum internasional untuk mengenyampingkan halangan kedaulatan negara lain
dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Pemanfaatan Hukum Internasional.
Pemanfaatan hukum Internasional sebagai instrumen politik paling tidak ada
tiga yang beranjak pada tiga keadaan.
Pertama, hukum Internasional sebagai instrumen politik memiliki manfaat
untuk mengubah atau memperkenalkan suatu ketentuan, asas, kaedah ataupun
konsep. Manfaat ini berangkat dari kenyataan bahwa hukum internasional
dibentuk oleh negara. Oleh karenanya negara dapat memanfaatkan hukum
internasional untuk mengubah atau memperkenalkan suatu konsep. Konsep ini
bila diterima oleh mayoritas masyarakat internasional akan memiliki daya
ikat.
Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan mengakomodasi suatu konsep
baru ke dalam perjanjian internasional. Tentu ini tidak berarti bahwa satu
negara dalam waktu singkat dapat melakukannya. Pembentukan atau
mengamandemen perjanjian internasional memerlukan proses dan waktu.
Kedua, hukum internasional menjadi instrumen politik bertolak pada keinginan
negara demi kepentingan nasionalnya untuk turut campur dalam urusan domestik
negara lain tanpa dianggap sebagai pelanggaran.
Cara yang paling efektif untuk melakukan intervensi adalah dengan
memanfaatkan perjanjian internasional sebagai salah satu produk hukum
internasional. Perjanjian internasional dibuat sedemikian rupa sehingga
berimplikasi pada kewajiban bagi negara peserta untuk mentransformasikan
ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional ke dalam hukum
nasionalnya. Dengan demikian hukum nasional suatu negara harus mencerminkan, bahkan tidak
boleh bertentangan dengan, perjanjian internasional yang telah diikuti.
Terakhir, hukum internasional berfungsi sebagai instrumen politik berangkat
dari fakta bahwa dalam interaksi internasional negara saling pengaruh
mempengaruhi. Negara menggunakan hukum internasional untuk menekan negara
lain agar mengikuti kebijakannya. Sementara hukum internasional juga
dimanfaatkan oleh negara yang mendapat tekanan untuk menolak tekanan
tersebut.
Pembentukan Pengadilan menggambarkan puncak perkembangan yang cukup lama
dari metode atau cara – cara penyelesaian secara damai terhadap sengketa
– sengketa Internasional, dimana asal mulanya dapat dikatakan kembali ke
masa yang lampau.
Pasal 33 dari Piagam PBB dibahas mengenai cara – cara penyelesaian
sengketa internasional secara damai dimana meliputi negotiation, enquiry,
mediation, conciliation, arbitrarion, judicial settlement, dan resort to
regional agencies or arrangements, serta dimasukkan juga good-offices.
Pada prosedur arbitrase (arbitration) dan penyelesaian hukum (judicial
settlement) mempunyai perbedaan yang terletak dalam sifat hakikat badan yang
memutuskan dan bukan pada prosedur itu sendiri. Keduanya adalah prosedur
untuk penyelesaian sengketa atas hak – hak hukum para pihak, atas dasar
hukum yang berlaku (kecuali para pihak berpendapat lain) dan menghasilkan
keputusan yang mengikat para pihak.
Sejarah dari terbentuknya suatu Mahkamah Internasional dimulai dengan suatu
pembentukan lembaga Arbitrase yang merupakan lembaga penyelesaian sengketa
internasional secara damai.
Arbitrase adalah suatu institusi yang sudah cukup tua, tetapi sejarah
arbitrase modern yang diakui adalah sejak Jay Treaty 1794 antara Amerika dan
Inggris yang mengatur pembentukan tiga ' joint mixed commissions' untuk
menyelesaikan beberapa perselisihan tertentu yang tidak dapat diselesaikan
selama perundingan traktat tersebut. Suatu dorongan lainnya bagi arbitrase
diberikan oleh Alabama Claims Award 1872 antara Amerika Serikat dan Inggris.
Klausula – klausula yang mengatur pengajuan sengketa – sengketa kepada
arbitrase juga sering dimasukkan ke dalam traktat – traktat, khususnya
konvensi 'yang membuat hukum' (law-making) dan mengutip pernyataan hakim
Manly O. Hudson, "arbitrase karenanya menjadi tangan utama legislasi
Internasional" karena sengketa – sengketa mengenai penafsiran konvensi
– konvensi atau penerapan ketentuan – ketentuan konvensi dapat diajukan
kepadanya untuk memperoleh jalan pemecahan.
- Permanent Court of Arbitration
Suatu langkah maju bagi perkembangan arbitrase, yaitu konvensi deng haq 1899
dan 1907 mendirikan Permanent Court of Abitration yang dalam kenyataannya
tidak permanen dan tidak berbentuk pengadilan. Dimana setiap negara
peserta/anggota dapat mengangkat empat orang yang memenuhi syarat di bidang
hukum internasional dan semua orang yang ditunjuk tersebut merupakan sebuah
panel para ahli hukum yang kompeten yang dari mereka itulah diangkat para
arbitrator apabila diperlukan.
Arbitrase pada hakikatnya adalah suatu prosedur konsensus. Negara- negara
tidak dapat dipaksa untuk di bawa ke muka arbitrase kecuali jika mereka
bersetuju untuk melakukan hal tersebut, baik secara umum dan sebelumnya
maupun ad hoc berkenaan dengan suatu sengketa tertentu.
Proses arbitrase, di samping berkeinginan untuk adanya sebuah pengadilan
yang permanen, tetap akan menjadi suatu proses yang bermanfaat guna
mewujudkan kemajuan – kemajuan dan akan adanya suatu kategori sengketa
dimana para pihaknya bersedia menyerahkan sengketa itu untuk diselesaikan
oleh badan arbitrase daripada menyerahkan ke mahkamah internasional. Dengan
demikian, pembentukan Permanent Court of Justice pada tahun 1920 tidak
menyebabkan dihapuskannya lembaga Permanent Court of Arbitration dan The
General Act for the pasific settlement of International Disputes 1928.
- Permanent Court of International Justice
Dalam pasal 14 Covenant Liga Bangsa – Bangsa diberikan tugas kepada dewan
liga untuk "menyusun dan mengajukan rencana – rencana bagi pembentukan
sebuah Mahkamah Internasional Permanen kepada anggota – anggota liga untuk
disahkan…".
Dewan liga kemudian mengangkat sebuah komite penasihat yang
terdiri dari ahli – ahli hukum dan di dalam komite itulah digunakan untuk
memecahkan persoalan penting mengenai pemilihan para hakim.
Permanent Court of International Justice bukan merupakan suatu organ dari
Liga Bangsa – Bangsa , meskipun dalam beberapa tindakannya berhubungan
dengan Liga.
Dan perbedaan pokok antara Mahkamah dengan arbitrase merujuk
kepada hal – hal berikut :
- Mahkamah secara permanen merupakan sebuah pengadilan, yang diatur dengan
statuta dan serangkaian ketentuan prosedurnya yang mengikat terhadap semua
pihak yang berhubungan dengan mahkamah. - Mahkamah memiliki panitera (register) tetap, yang menjalankan semua
fungsi yang diperlukan dalam menerima dokumen – dokumen untuk diarsip,
dilakukan pencatatan dan pengesahan, pelayanan umum Mahkamah dan bertindak
sebagai saluran komunikasi tetap dengan pemerintah dan badan – badan lain. - Proses peradilan dilakukan secara terbuka, sementara pembelaan –
pembelaan dan catatan – catatan dengar pendapat serta keputusan –
keputusannya dipublikasikan. - Pada prinsipnya Mahkamah dapat dimasuki oleh semua negara untuk proses
penyelesaian yudisial segala kasus yang dapat diserahkan oleh negara –
negara itu kepadanya dan semua masalah khususnya yang diatur dalam traktat
dan konvensi yang berlaku. - Pasal 38 Statuta Mahkamah secara khusus menetapkan bentuk hukum yang
berbeda – beda yang harus diberlakukan Mahkamah dalam perkara – perkara
dan masalah – masalah yang diajukan kehadapannya, tanpa menyampingkan
kewenangan mahkamah untuk memutuskan suatu perkara ex aequo et bono yang
berarti demi keadilan dan kebaikan , apabila para pihak setuju terhadap cara
tersebut. - Keanggotaan Mahkamah adalah berupa wakil – wakil dari bagian terbesar
masyarakat internasional mewakili sistem hukum utama; sejauh hal itu tidak
bertentangan dengan pengadilan lain. - Yang terakhir, dimungkinkan bagi Mahkamah untuk mengembangkan suatu
praktek yang konsisten dalam proses – proses peradilannya dan memelihara
kesinambungan wawasan terhadap suatu hal yang tidak sesuai jika dilakukan
pengadilan – pengadilan ad hoc.
Antara tahun 1922 dan 1940, Permanent Court of International Justice telah
menyelesaikan 29 perkara di muka pengadilan (contentious case) dan 27
nasehat hukum (advisory opinions).
Dalam waktu yang sama juga beberapa ratus
perjanjian (treaty), konvensi (convention) dan mengumumkan pertimbangan
yuridiksi di atasnya terhadap jenis – jenis sengketa tersebut.
Pecah perang yang di mulai pada September 1939 memberikan sebuah konsekuensi
yang tidak dapat dielakkan bagi Permanent Court of International Justice,
dimana beberapa tahun sebelumnya telah mengalami pengurangan aktivitasnya.
Pada tanggal 4 Desember 1939, Permanent Court of International Justice tidak
lagi menangani masalah – masalah peradilan dan tidak melakukan pemilihan
hakim – hakimnya. Dan pada tahun 1940 mahkamah pindah dari kedudukannya di
Den Haaq ke jenewa, hanya tinggal seorang hakim yang tersisa di Den Haag
bersama dengan beberapa petugas panitera yang berkebangsaan Belanda.
Walaupun dalam tekanan keadaan perang, suatu pemikiran harus tetap diberikan
untuk masa depan pengadilan sebagaimana pembentukan dari politik
internasional yang baru.
Pada tahun 1942, Amerika dan Inggris mempunyai rencana untuk mendirikan
konsep badan Peradilan, yaitu :
- Harus merupakan organ yuridis utama dari organisasi internasional yang
akan dibentuk. - Membuat suatu peradilan baru dirasakan lebih konsisten karena Permanent
Court of International Justice tidak sesuai dengan perkembangan dalam Liga
Bangsa – Bangsa. - Beberapa negara tidak terwakili dalam konferensi San Fransisco.
- Pertemuan terakhir pada bulan Oktober 1945, membahas bagaimana untuk
merubah kerangka dari Permanent Court of International Justice kepada
International Court of Justice.
Akhirnya pada tanggal 31 Januari 1946, seluruh hakim dari Permanent Court of
Internatinal Justice mengundurkan diri dan pada tanggal 5 Februari 1946 ,
dilakukan pemilihan anggota pertama dari International Court of Justice.
Pengukuhan kedudukan International Court of Justice yang dilaksanakan pada
tanggal 18 April 1946, dan pada tanggal itu juga pendahulunya yaitu
Permanent Court of International Justice, dibubarkan oleh Majelis Liga
Bangsa – Bangsa pada waktu sidang terakhirnya.
c. International Cout of Justice
International Court of Justice berkedudukan di Peace Palace, The
Hague(Netherlands) yang bertindak sebagai pengadilan dunia dimana memutus
perkara – perkara dalam sengketa- sengketa hukum International dari suatu
negara dan juga memberikan pendapat dalam bentuk nasehat hukum(advisory
opinion).
International Court of justice dibentuk berdasarkan pasal 92-96 Piagam
Perserikatan Bangsa – Bangsa yang dirumuskan di San Fransisco pada tahun
1945. Pasal 92 menyatakan bahwa Mahkamah adalah 'organ utama PBB' dan
menentukan bahwa mahkamah akan bekerja menurut suatu statuta, yang merupakan
'bagian integral' dari Piagam PBB. Karena itu, maka negara – negara
anggota PBB otomatis terikat kepada mahkamah (International Court of
Justice) sebagaimana halnya kepada organ – organ PBB lainnya. Dalam bidang
penyelesaian sengketa – sengketa secara damai, Mahkamah dan Dewan Keamanan
PBB merupakan "organ – organ yang saling melengkapi".
Mahkamah juga
terikat pada tujuan dan prinsip PBB yang dinyatakan pada pasal 1 dan pasal 2
Piagam PBB dan karena statuta Mahkamah dilampirkan pada Piagam PBB serta
merupakan bagian integral dari Piagam PBB, maka konteks Piagam PBB tersebut
merupakan suatu faktor pengendali dalam penafsiran ketentuan – ketentuan
dari statuta.
Statuta International Court of Justice memuat kaidah dasar mengenai
konstitusi, yuridiksi dan prosedur Mahkamah serta ditambah dengan dua
perangkat kaidah yang dikeluarkan oleh mahkamah sesuai dengan kewenangannya
untuk perumusan peraturan yang dimilikinya menurut pasal 30 statuta ICJ,
yaitu:
- Rules of Court yang disahkan pada tanggal 14 April 1978 yang merupakan
suatu upaya revisi atas peraturan sebelumnya yang disahkan pada tanggal 6
Mei 1946; yang didasarkan pada aturan yang sama dengan aturan yang
diberlakukan pada PCIJ dan telah diubah pada tahun 1972. Ketentuan itu mulai
berlaku pada tanggal 1Juli 1978, dimana aturan – aturan revisi yang baru
tersebut bukan saja memuat ketentuan – ketentuan acara, melainkan juga
kaidah – kaidah yang mengatur struktur dan tugas Mahkamah serta tugas –
tugas dari panitera. - Resolusi tanggal 12 April 1978, mengenai praktek yudisial Internasional
Mahkamah, yang merupakan versi revisi dari resolusi yang dikeluarkan tanggal
5 Juni 1968. Resolusi ini menetapkan praktek yang harus diikuti oleh
Mahkamah berkaitan dengan pertukaran pandangan antara para hakim dalam
kaitannya dengan masalah – masalah khusus, setelah selesainya proses
perkara tertulis dan sebelum diselenggarakan dengan pendapat lisan, serta
berkenaan dengan pertimbangan Mahkamah secara terpisah setelah penyimpulan
dengar pendapat lisan, tentang suatu pendapat untuk mencapai keputusan,
pemungutan suara oleh para hakim, persiapan keputusan dan opini – opini
terpisah serta opini – opni yang menyanggah.
Pada saat menjelang berakhirnya perang dunia kedua, Negara – Negara Blok
Sekutu telah mengadakan Konferensi di San Fransisco yang dihadiri oleh lebih
dari lima puluh Negara, dalam Konferensi tersebut yang baerakhir pada
tanggal 26 juni 1945, telah dibentuk sebuah organisasi dunia yang baru, yang
diberi nama " The United Nations Organization", dan diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia menjadi Perserikatan Bangsa – Bangsa.
Adapun landasan dibentuknya organisasi tersebut, didasarkan pada suatu
Piagam yang disebut " Charter of the United Nations" atau Piagam
Perserikatan
Bangsa – Bangsa.
Tujuan didirikannya Perserikatan Bangsa – Bangsa
tersebut adalah untuk mempertahankan perdamaian dan keamanan dunia, dan
untuk mencapai tujuan tersebut, perlu diadakannya tindakan – tindakan
bersama yang efektif untuk mencegah dan meniadakan ancaman terhadap
perdamaian serta menanggulangi tindakan agresi, dengan cara damai sesuai
dengan prinsip – prinsip keadilan dan ketentuan hukum Internasional,
penyelesaian sengketa Internasional atau keadaan yang mengancam perdamaian.
Bersamaan dengan itu, dalam Konferensi tersebut telah disetujui pula
berdirinya Mahkamah Internasional yang dalam struktur organisasi
Perserikatan Bangsa – Bangsa berkedudukan sebagai organ utama ( the
principal organ ), sejajar dengan organ – organ utama lainnya seperti
Majelis Umum, Dewan keamanan. Pembentukan Mahkamah Internasional tersebut,
sejalan dengan tujuan Perserikatan Bangsa – Bangsa termaksud yaitu dalam
rangka penyelesaian sengketa secara damai, perlu adanya lembaga atau badan
peradilan yang diberi wewenang untuk menyelesaikan sengketa antarnegara.
Oleh karena itu, Mahkamah Internasional merupakan satu – satunya badan
peradilan yang dibentuk berdasarkan Piagam Perserikatan bangsa – Bangsa.
Dalam kedudukannya sebagai badan peradilan atau judicial organ, maka
Mahkamah Internasional mempunyai wewenang penuh untuk memeriksa dan
memutuskan sengketa – sengketa Internasional yang diajukan kepadanya,
tanpa campur tangan pihak lain.
Ketentuan – ketentuan pokok mengenai Mahkamah Internasional diatur dalam
Piagam Perserikatan Bangsa – Bangsa dalam Bab XIV mulai pasal 92 - Pasal
96, tentang kedudukan Mahkamah Internasional sebagai badan peradilan serta
hubungan fungsional antara Mahkamah dengan organ – organ lainnya.
Selanjutnya, keanggotaan dalam Perserikatan Bangsa – Bangsa, secara
otomatis menjadi anggota dalam Mahkamah Internasional.
Mahkamah Internasional Sebagai Badan Peradilan Utama Perserikatan
Bangsa
Bangsa ( PBB )
Menurut pasal 92 piagam Perserikatan Bangsa – Bangsa menyatakan antar
lain," The International Court Of Justice Shall be the principal justice
organ of the United Nations". Menurut pasal tersebut, Mahkamah
Internasional merupakan badan peradilan utama Perserikatan Bangsa –
Bangsa, yang memiliki wewenang penuh dalam penyelesaian secara hukum,
sengketa – sengketa Internasional ", sebagai badan peradilan atau
judicial organ maka Mahkamah Internasional mempunyai wewenang penuh untuk
memeriksa dan mengadili sengketa – sengketa yang diajukan kepadanya tanpa
campur tangan dari organ – organ yang lain.
Sekalipun demikian, Mahkamah Internasioanl harus bersikap pasif, yang
berarti melakukan reaksi tindakan apabila ada pengajuan perkara oleh pihak
yang bersengketa.
Penyelesaian perkara ke Mahkamah Internasional adalah alternatif, artinya
para pihak dalam hal ini negara dapat memilih beberapa cara penyelesaian,
seperti penyelesaian melalui saluran diplomatik, mediasi, arbitrase, dan
lain – lain.
Berkaitan dengan hal tersebut, J.G. Starke mengemukakan pendapatnya bahwa :
"Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, memperkenankan Mahkamah
Internasional memutuskan perkara, apabila pihak – pihak yang bersengketa
menyetujui hal itu, dan menyatakan kemauannya secara tegas. Ini berarti
bahwa Mahkamah dapat memutuskan perkara atas dasar – dasar obyektif
mengenai kepatuhan dan keadilan, tanpa terikat oleh hukum ".
Jadi penyelesaian sengketa hukum Internasional melalui Mahkamah
Internasional, lebih bersifat pilihan atas dasar sukarela apabila
dikehendaki oleh pihak – pihak yang bersengketa. Walaupun Mahkamah
Internasional dibentuk oleh Perserikatan Bangsa – Bangsa, tidak ada
kewajiban bagi para pihak yang bersengketa untuk selalu menyelesaikan
sengketanya melalui Mahkamah Internasional, hal ini hanyalah salah satu
alternatif yang dapat dipilih oleh para pihak dalam menyelesaikan
sengketanya. Kenyataannya banyak Negara yang enggan menyelesaikan
pertikaiannya melalui Mahkamah Internasional, seperti yang terjadi pada
Indonesia dan Malaysia dalam sengketanya mengenai Blok Ambalat yang baru –
baru ini terjadi, dimana Malaysia mengklaim bahwa separuh laut Sulawesi
masuk wilayah Malaysia..
Peran Dan Fungsi Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional adalah Organ Utama Perserikatan Bangsa – Bangsa
yang dewasa ini masih berdomisil di kota Den Haaq Belanda, yang secara
khusus memiliki peranan untuk menyelesaikan secara hukum sengketa –
sengketa Internasional yang diajukan di muka Mahkamah. Mahkamah
Internasional sebagai badan yang bersifat permanen dalam Perserikatan Bangsa
– Bangsa yang didirikan Liga Bangsa – Bangsa pada abad XXIII dan abad
XIX yang bernama " Permanent Court of Internasional Justice", namun
gagal dalam menjalankan fungsi dan tugasnya untuk memelihara dan
mempertahankan perdamaian serta keamanan Internasional yang terbukti dengan
pecahnya perang dunia pertama pada tahun 1918.
Pembentukan Mahkamah Internasional yang dilandasi oleh ketentuan dari Bab
XIV Piagam Perserikatan Bngsa – Bangsa (Pasal 92-96) dalam suatu
Konferensi di San Fransisco Amerika Serikat pada tahun 1945. Di dalam
beberapa hal terdapat perbedaan yang hakiki antara lembaga Mahkamah
Internasional yang merupakan organ utama Perserikatan Bangsa – Bangsa
dengan lembaga Mahkamah Internasional pada lembaga – lembaga yang ada
sebelum PBB didirikan. Adapun perbedaan – perbedaan tersebut adalah :
- Mahkamah Internasional PBB sifatnya tetap dan diatur dengan Statuta dan
peraturan prosedur badannya sendiri yang mengikat semua pihak yang
berhubungan dengan Mahkamah Internasional. - Mahkamah Internasional mempunyai registrasi yang tetap yang melaksanakan
semua fungsi yang perlu untuk menerima penyimpanan, peralatan dan pengesahan
dokumen – dokumen, pelayanan – pelayanan Mahkamah pada umumnya, serta
bertindak sebagai saluran komunikasi dengan pemerintah nasional dan badan
– badan nasional. - Berita acara bersifat publik, sedang pembelaan – pembelaan serta
catatan tentang pendapat – pendapat dan pertimbangan – pertimbangan
dipublikasikan.
Keanggotaan Mahkamah Internasional dan dari sistem hukum utama, sampai batas
tertentu yang bukan merupakan persoalan dengan pengadilan ini.Sebaliknya
Mahkamah Internasional Permanen bukan merupakan organ Perserikatan
Bangsa-Bangsa, sedangkan Mahkamah Internasional merupakan organ utama PBB,
dengan demikian terdapat suatu hubungan mengenai fungsi Mahkamah dengan
fungsi organ utama yang lain seperti Majelis Umum, Dewan Keamanan yang juga
terikat pada asas-asas PBB, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 dan 2
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang merupakan bagian yang Internal,
dimana, dalam penyelesaian suatu sengketa, Majelis Umum dapat memberikan
suatu syarat tentang penyelesaian senketa, atas rekomendasi Dewan Keamanan,
maka dalam hal ini, konteks piagam tersebut merupakan factor pengendalian
dalam penafsiran ketentuan statuta.
Mahkamah terbuka bagi Negara-negara peserta ( anggota atau bukan anggota PBB
) dan Negara-negara lainnya dengan yang ditentukan oleh Dewan Keamanan PBB,
kecuali ditentukan lain oleh ketentuan-ketentuan khusus yang terdapat dalam
traktat-traktat yang berlaku dan bahwa syarat-syarat itu tidak akan
memberikan kedudukan yang tidak sederajat dengan anggota-anggota lain dari
Mahkamah.
Pasal 35 statuta Mahkamah Internasional menyatakan : all members
of the United Nations are ipso facto parties to the Statuta of the
International Court of Justice, dengan
demikian, setiap anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa otomatis menjadi peserta
atau pihak terhadap statute Mahkamah, yang berarti bahwa suatu Negara yang
menjadi anggota perserikatan bangsa-bangsa mempunyai hak dan memenuhi syarat
untuk menjadi pihak dalam suatu sengketa melalui mahkamah Internasional.
Fungsi Mahkamah internasional ada 2 yaitu :
a. Mengadili dan memutuskan perkara-perkara yang disengketakan
b. Memberikan nasehat atau pendapat ( advisory opinion )
Jurisdiksi Mahkamah Internasional
Jurisdiksi Mahkamah berlandaskan atas kesepakatan para pihak sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 36 (1), yang meliputi semua perkara yang diajukan
para pihak kepadanya, dan telah ada persetujuan terlebih dahulu, dengan
demikian, seperti dalam arbitrase tradisional, cara kompromis dapat
disepakati jika juridiksi Mahkamah bersandar pada perjanjian ad hoc.
Hal ini
bukan satu-satunya cara untuk menyatakan persetujuan tehadap juridiksi
Mahkamah, dan sesungguhnya tidak ada syarat yang khusus, oleh karena itu
dalam perkara corfu chanel yaitu sebuah surat yang ditunjukkan kepada
register oleh wakil menteri luar negeri Albania telah dianggap mencukupi
sebagai pernyataan persetujuan pihak Albania. Lagi pula, karena
dalam statuta terdapat syarat-syarat persetujuan para pihak sebelum biasanya
mengajukan ke Mahkamah, ada kemungkinan untuk menolak adanya jurisdiksi.
Meskipun demikian, akan lebih baik apabila persetujuan itu diberikan
terlebih dahulu, walaupun dalam kenyataannya charter perserikatan
bang-bangsa tidak memuat ketentuan-ketentuan tentang jurisdiksi yang
disepakati.
Berdasarkan pasal 36 (ayat 2), dinyatakan bahwa yurisdiksi
Negara-negara peserta tersebut setiap saat dapat dinyatakan bahwa mereka
terikat ipso facto yang tampak dalam perjanjian khusus dengan negara lain
yang menetapkan kewajiban tunduk terhadap jurisdiksi
Mahkamah Internasional menangani dalam semua sengketa - sengketa hukum yang
menyangkut perkara :
- Penafsiran sebuah perjanjian Internasional
- Suatu persoalan hukum internasional
- Adanya suatu fakta yang jika terjadi akan menimbulkan pelanggaran
terhadap kewajiban internasional. - Sifat dan besarnya ganti kerugian yang diberikan terhadap pelanggaran
suatu kewajiban Internasional.
Hal tersebut menunjukkan luasnya ruang lingkup sengketa hukum bagi
Negara-negara yang bersedia untuk menerima jurisdiksi wajib pada stahun
1945.
2.7.
Hukum yang berlaku
Masalah hukum yang berlaku dikemukakan dalam pasal 38 ayat (1) Piagam PBB
menyatakan bahwa dalam mengadili sengketa-sengketa yang diajukan oleh
pihak-pihak yang bersengketa kepadanya, maka Mahkamah Internasional akan
menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
- Perjanjian-perjanjian Internasional, baik yang bersifat umum maupun
khusus yang mengandung ketentuan - ketentuan hukum yang diakui secara tegas
oleh Negara-negara yang bersengketa. - Kebiasaan-kebiasaan Internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan
umum yang telah diterima sebagai hukum. - Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradap.
- Putusan - putusan pengadilan dan ajaran sarjana-sarjana yang paling
termuka dari berbagai Negara, sebagai sumber tambahan dalam menetapkan
kaidah-kaidah hukum Internasional.
Susunan Organisasi Mahkamah Internasional
Hakim Mahkamah Internasional
Hakim – hakim Mahkamah Internasional terdiri dari terdiri dari 15 orang
yang diangkat berdasarkan hasil pemilihan Majelis Umum dan Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-bangsa. Calon – calon untuk pemilihan Majelis Umum dan
Dewan Keamanan di ajukan oleh kelompok kebangsaan di Permanent Court of
Arbritation, maka pencalonan dapat diajukan oleh pemerintah Negara-negara
yang menjadi anggota Perserikatan bangsa-bangsa. Pemilihan untuk calon –
calon pada Majelis Umum dan dewan Keamanan harus diselenggarakan secara
terpisah, calon yang terpilih adalah yang mendapat suara terbanyak, baik di
Majelis Umum maupun di Dewan Keamanan.
Hakim Mahkamah Internasional menjabat untuk masa jabatan selama sembilan
tahun, dengan ketentuan bahwa untuk 5 orang hakim yang terpilih dalam
pemilihan pertama, masa jabatannya akan berakhir dalam waktu 3 tahun, dan 5
orang hakim lainnya untuk masa jabatannya selama 6 tahun, dengan demikian
setiap tiga tahun sekali, terdapat 5 orang hakim yang berakhir masa
jabatannya untuk kemudian diganti dengan 5 orang hakim baru melalui
pemilihan tersebut diatas. Selain itu ada yang disebut hakim ad hoc ( judge
ad hoc ) yang bersifat tidak tetap yang ditunjuk untuk hanya perkara-perkara
tertentu. Perlunya diangkat Hakim ad hoc tersebut apabila dalam suatu
perkara tertentu, salah satu pihak atau keduanya tidak mempunyai hakim yang
memiliki kebangsaan yang sama dengan salah satu atau kedua pihak tersebut
diberi hak untuk menunjuk seorang untuk duduk sebagai hakim perkara
tersebut.
Panitera
Panitera terdiri dari seorang panitera, seorang wakil panitera dan staf
kepaniteraan.
Ketentuan mengenai panitera tersebut diatur dalam Statuta
Mahkamah Internasional dan Rules of Court. Panitera dan wakil panitera
diangkat oleh Mahkamah Internasional untuk masa jabatan selama tujuh tahun.
Sebagaimana halnya dengan hakim Mahkamah, panitera dan wakil panitera
sebelum memangku jabatan, harus mengangkat sumpah (solumn declaration).
Adapun tugas panitera adalah mendaftarkan perkara yang masuk dengan memberi
nomor urut menurut tanggal diterimanya berkas, serta menyiapkan bahan untuk
persidangan, selain itu, panitera juga merupakan penghubung antara Mahkamah
dengan pihak luar termasuk memberitahukan kepada para pihak yang
berkepentingan atas suatu perkara tertentu. Panitera juga bertanggung jawab
atas penyimpangan berkas-berkas serta pengelolaan administrasi pada
lingkungan Mahkamah Internasional. Apabila panitera dan wakil panitera
berhalangan hadir dalam suatu persidangan, maka presiden Mahkamah dapat
menunjuk salah seorang staf kepaniteraan untuk menjadi panitera pengganti.
Proses Pemeriksaan Perkara Oleh Mahkamah Internasional
Kewenangan memeriksa dan mengadili serta memutuskan perkara Internasional
oleh Mahkamah Internasional, diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam
Statuta Mahkamah Internasional. Berdasarkan pasal 36 ayat 1 Statuta,
Mahkamah Internasional yang berwenang menyelesaikan semua perkara yang
diajukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pengajuan melalui pemberitahuan
persetujuan khusus yang disebut kompromis (disetujui oleh semua pihak),
namun berdasarkan pasal 36 ayat 1 tersebut, tidak berarti Mahkamah hanya
berwenang jika -pihak lainnya perkara tersebut diajukan bersama oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.
Apabila salah satu pihak menyatakan persetujuannya pada perkara tersebut,
dianggap cukup dengan adanya penataan secara suka rela terhadap yurisdiksi
Mahkamah, dan persetujuan seperti itu tidak diperlukan sebelum acara
dimulai, atau
dinyatakan dalam bentuk khusus. Apabila ada persetujuan dan tidak ada
kepatuhan dari pihak yang lainnya, maka perkara harus dikesampingkan oleh
Mahkamah Internasional, dan Mahkamah Internasional tidak dapat memutuskan
perkara, bila pihak yang berkepentingan tidak hadir.
Berdasarkan pasal 34 Statuta Mahkamah Internasional, hanya negaralah yang
dapat menjadi pihak yang berperkara di muka Mahkamah, tetapi Mahkamah
berwenang meminta keterangan dari organisasi Internasional mengenai
perkara-perkara, atau organisasi Internasional tersebut dapat melengkapi
informasi atas inisiatifnya sendiri. Selanjutnya Mahkamah diberi yurisdiksi
oleh Statuta pengadilan
administratif PBB dan organisasi buruh Internasional untuk menentukan,
berdasarkan pemberian nasehat (advisory opinions), untuk menentukan apakah
pertimbangan-pertimbangan telah dirubah oleh kesalahan-kesalahan prosedur
yang mendasar. Adanya ketentuan tersebut dan atas permohonan akan nasehat
terhadap Organisasi - organisasi Internasional yang bersangkutan, dan
mempertimbangkan pengamatan-pengamatn dan informasi tertulis yang
dikemukakan oleh para individu.
Organisasi tersebut di atas tidak dapat
menjadi pihak dalam perkara kontentius dimuka Mahkamah. Rusel J. dalam
Stocck Public Trustee mengatakan : " Masalah tentang warga Negara dari
dari Negara mana seseorang harus diputuskan oleh hakim nasional dari yang
dinyatakannya sebagai negaranya, atau dianggap sebagai Negara." Mengenai
adanya individu suatu Negara, yang terlibat dalam sengketa/perkara
Internasional, suatu Negara dapat mengambil kebijaksanaan absolut, terhadap
kasus dari salah satu warganya, atau acara-acara yang berkaitan diantara
Negara-nagara yang terlibat.
Acara pemeriksaan perkara dalam sidang terdiri atas dua yaitu acara
tertulis ( written procceding) dan acara lisan (oral procceding).
Setelah
para pihak mencapai kata sepakat mengenai bahasa yang digunakan, maka dalam
batas waktu yang telah ditentukan, acara pemeriksaan secara tertulis akan
dimulai, dan acara tertulis pada hakekatnya merupakan jawaban-jawaban secara
tertulis antara pihak penggugat dan pihak tergugat yang disebut pleading.
Selanjutnya, terhadap memorial yang disampaikan oleh pihak penggugat, maka
pihak tergugat dapat mengajukan surat
jawaban yang disebut counter memorial. Menurut pasal 42 ayat 2 Rules of
Court, maka conter memorial harus mengandung suatu pengakuan (admission)
atau penyangkalan (denial) dan dapat ditambahkan oleh fakta-fakta serta
alasan hukum, sebagai penyangkalan terhadap dalil-dalil pihak penggugat.
Berdasarkan counter-memorial yang disampaikan oleh pihak tergugat tersebut
diatas, maka pihak penggugat dapat mengajukan jawaban lebih lanjut yang
disebut Reply. Demikian pula pihak tergugat dapat menjawab lebih lanjut yang
disebut Rejoinder.
Bersamaan dengan acara jawab-menjawab atau pleading tersebut, dapat pula
disertai dengan alat bukti surat, dan panitera berkewajiban untuk
menyampaikan surat-surat dan alat bukti tersebut kepada para hakim Mahkamah
Internasional.
Yurisdiksi wajib Mahkamah Internasional meliputi :
1. Pihak yang bersangkutan terikat oleh ketentuan-ketentuan trakta atau
Mahkamah berwenang menyelesaikan perkara-perkara tertentu. Instrumen yang
menentukan penunjukan persoalan perkara kepada Mahkamah antara lain seperti
persetujuan-persetujuan angkutan udara bilateral, traktat perdagangan dan
kerja sama ekonomi, serta konvensi-konvensi konsuler. Apabila pekerjaan yang
belum diselesaikan oleh Mahkamah Internasional Permanen (sebelum Mahkamah
Internasional pada PBB terbentuk tahun 1945), maka berdasarkan pasal 37
Statuta Mahkamah Internasional ,ditetapkapkan bahwa apabila traktat atau
konvensi yang berlaku mengharuskan perkara diselesaikan oleh Mahkamah
Internasional permanen, maka perkara seperti tersebut diatas harus diajukan
ke Mahkamah Internasional. Mahkamah harus benar-benar puas bahwa traktat
atau perjanjian yang digunakan sebagai dasar oleh Negara penuntut untuk
meminta
yurisdiksi Mahkamah adalah suatu traktat atau perjanjian secara yurisdiksi,
yang bilamana Mahkamah menterjemahkan permohonan sepihak dilaksanakan. Jadi
suatu perjanjian yang menghendaki suatu permohonan bersama, baik oleh Negara
penuntut maupun Negara yang dituntut untuk wajib menrima yurisdiksi, menurut
perjanjian tersebut.
2. Bahwa para pihak yang bersangkutan, terikat oleh deklarasi yang dibuat
berdasarkan "Klausal Opsion" pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah
Internasional yang sekarang. Istilah klausal ini dalam Statuta sebelumnya
pada pokoknya sama dengan yang tercantum pada Statuta Mahkamah yang
sekarang, berdasarkan klausal tersebut, menentukan para pihak terhadap
Statuta, setiap waktu dapat menyatakan bahwa mereka mengakui yurisdiksi
wajib, dan tanpa persetujuan khusus yurisdiksi Mahkamah, dalam hubungannya
dengan setiap Negara yang mendapat kewajiban yang sama atas semua
sengketa-sengketa hukum Internasional mengenai :
- Penafsiran Traktat.
- Setiap masalah hukum Internasional.
- Adanya kejadian-kejadian yang menimbulkan pelanggaran kewajiban
Internasional - Hakekat dan besarnya biaya pemulihan pelanggaran
Pernyataan-pernyataan itu dapat dibuat dengan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut :
- Tanpa syarat
- Dengan syarat resprositas (timbal balik) pada Negara tertentu.
- Selama jangka waktu
berdasarkan hal-hal tersebut diatas, yang menentukan bahwa perkara tersebut
adalah sengketa hukum dan termasuk kategori khusus, maka yurisdiksi Mahkamah
Internasional bersifat wajib.
Mahkamah berwenang menentukan apakah suatu
sengketa hukum tertentu, termasuk jenis sengketa yang disebut dalam
"klausal opsinal", dan untuk menjamin kesinambungan dengan Mahkamah
Internasional Permanen (lembaga sebelumnya), maka pasal 36 ayat 5 Statuta
Mahkamah Internasional, menentukan bahwa pernyataan-pernyataan klausal
opsional yang dibuat menurut Statuta Mahkamah Internasional Permanen
sebelumnya, dipandang sebagai penerimaan pernyataan-pernyataan yang masih
tetap berlaku untuk Statuta yang sekarang,sesuai dengan istilahnya.
Ketentuan tersebut perlu ditafsirkan oleh Mahkamah Internasional yang
sekarang yang diwakili pada konferensi San Fransisco oleh semua
Negara-negara PBB yang menetapkan Statuta Mahkamah Internasional saat ini,
berdasarkan keputusan dalam keberatan pendahuluan, suatu pernyataan yang
dibuat sesudah tahun 1946 oleh setiap Negara yang bermaksud mempengaruhi
pernyataan menurut klausal opsional dalam Statuta sebelumnya, dianggap tidak
sah, sebagaimana pernyataan yang dibuat menurut statuta sekarang. Adanya hal
tersebut, karena Mahkamah Internasional Permanen telah dibubarkan, dan
dinyatakan tidak dapat mengajukan permohonan dalam bentuk apapun, kecuali
berdasarkan ketentuan Mahkamah yang sekarang.
Konferensi San Fransisco, beberapa delegasi mengusulkan agar Statuta
Mahkamah menetapkan suatu yurisdiksi wajib Mahkamah, tetapi yang lain
menghendaki agar ketentuan mengikat ini dapat diperoleh secara mudah, dan
klausal opsional lebih luas diterima, tetapi harapan tersebut tidak
terkabul. Kebanyakan dari permintaan yang berlaku sekarang, harus tunduk
pada syarat resiprosita. Pembatasan-pembatasan yang tidak memuat
sengketa-sengketa tertentu kedalam yurisdiksi wajib. Pembatasan-pembatasan
mengenai yurisdiksi tersebut, sampai batas
tertentu telah distandarisasikan, yakni dikeluarkannya sengketa-sengketa
tertentu dari yurisdiksi wajib antara lain :
- Sengketa yang sudah berlalu
- Sengketa yang dapat diselesaikan dengan cara lain.
- Sengketa yang merupakan masalah-masalah yurisdiksi nasional (dalam
negeri) dari Negara yang menuntut. - Sengketa-sengketa yang timbul selama peperangan.
- Sengketa –sengketa atara Negara-negara persemakmuran Inggris.
Walaupun demikian, terlalu banyak pembatasan yang lolos dari
klausal-klausal, yang dengan demikian, akan membuka celah hukum. Beberapa
hal yang mempengaruhi pelaksanaan klausal opsional, telah ditetapkan dengan
keputusan Mahkamah, antara lain :
- Bilamana suatu pernyataan menurut syarat resiprositas dibuat oleh suatu
Negara, dan Negara lain menginginkan yuSrisdiksi tersebut oleh
Mahkamah, dengan menggunakan suatu pembatasan yang lebih luas, yang mencakup
bentuk yurisdiksi otomatis atau pertimbangan sendiri, yang dibuat oleh
Negara penuntut di dalam pernyataan. Yurisdiksi diserahkan kepada Mahkamah,
untuk menetapkan batas - batas mana kedua pernyataan tersebut bertemu.
Akibat bilateral seperti ini, tidak berlaku bagi Negara yang dituntut,
kecuali berdasarkan pembatasan-pembatasan yang lebih luas, yang benar-benar
terdapat dalam pernyataan Negara penuntut. Kenyataan bahwa Negara penuntut,
jika acara telah dibuat pada Mahkamah dan Negara yang dituntut tidak cukup
menggunakan asas bilateral, maka hal itu tidak akan berlaku apabila Negara
yang dituntut memilih secara tegas melepaskan keberatan apapun terhadap
yurisdiksi atas dasar akibat bilateral. - Jika suatu perkara antara Negara-negara berkenan dengan pokok-pokok yang
termasuk dalam yurisdiksi dalam negeri dan Negara yang dituntut, maka
perkara itu tidak dapat dikategorikan sebagai sengketa hukum. - Suatu pernyataan yang diajukan secara langsung sebelumnya, dan dengan
suatu permohonan kepada Mahkamah adalah tidak sah, demikian pula suatu
penyalahgunaan proses Mahkamah. - Jika suatu masalah pada waktunya diajukan ke Mahkamah berdasarkan pasal
36 ayat 2, maka yurisdiksi Mahkamah tidak dibebaskan dengan tindakan
unilateral dari Negara yang dituntut, bila pernyataan telah berakhir
sebagian atau seluruh.
Bilamana Mahkamah mempunyai yurisdiksi wajib, maka cara yang biasa untuk
memulai acara adalah dengan mengajukan permohonan tertulis oleh pihak-
pihak yang berperkara kepada panitera yang menyatakan pokok perkara, sedang
dalam pasal 75 Statuta, Mahkamah pada waktunya dapat setiap saat memutuskan
untuk memeriksa atas kehendaknya sendiri, apakah keadaan kasus tersebut.
mensyaratkan tindakan-tindakan bersyarat tertentu. Berdasarkan keputusan
Mahkamah Internasional tanggal 11 September 1976, dalam kasus AEGEANSEA
CONTINENTAL SHELF (antara Yunani versus Turki), tindakan-tindakan sementara
tidak diusulkan apabila tidak ada kerugian yang tidak dapat diperbuat
terhadap hak-hak Negara yang menuntut tindakan semacam itu, atau tidak perlu
diandaikan bahwa kedua pihak gagal mematuhi kewajiban menurut Piagam PBB,
dimana pokok persoalnnya beralih pada pelaksanaan semestinya dari
kewajiban-kewajiban tersebut. Mahkamah tidak dikendalikan, dan permohonan
yang menarik perhatian oleh salah satu pihak untuk tindakan – tindakan
sepihak untuk diambil oleh Negara yang dituntut. Tindakan – tindakan
sepihak dapat berupa mandat, dapat pula berupa perintah larangan, yang
tujuannya adalah untuk menjaga hak-hak dari masing – masing pihak.
Hal ini
ditegaskan dalam pasal 41 Statuta Mahkamah Internasional.
Keberatan-keberatan pendahulu dapat diajukan, misalnya terhadap yurisdiksi
Mahkamah, atau dengan dalih bahwa pokok perkara yang dituntut hanya termasuk
dalam yurisdiksi khusus nasional Negara yang ditunjtut, atau bahwa tingkat
perkara tersebut tidak sama bagi para pihak apabila keberatan-keberatan
pendahulu menimbulkan masalah yang memerlukan penyelidikan yang mendalam,
atau yang dibarengi dengan masalah-masalah kenyataan yang diajukan, maka
mahkamah tidak langsung mengambil keputusan, melainkan akan menghubungkan
dengan perkar
Suatu keputusan akan keberatan pendahuluan tidak dapat mengikat Mahkamah,
apabila perkara itu berubah menjadi suatu asas dasar tentang baik dan
buruknya, sesudah semua argument disajikan, berdasarkan ketentuan pasal 79
peraturan Mahkamah tahun 1978, dibandinkan dengan peraturan - peraturan yang
terdahulu, (tahun 1972) sekarang Mahkamah Internasional dapat memberikan
keputusannya dalam bentuk suatu keputusan yang memperkuat keberatan
terdahulunya atau menolak. Suatu karakter pendahuluan secara khusus, yaitu
kedua Negara yang dituntut harus mengajukan pembelaan menurut jasa yang
mencantumkan alasan itu jika ingin menggunakannya sebagai dasar.
Dengan kata
lain, Mahkamah Internasional tidak lagi dapat memerintahkan dalam
pertimbangannya agar suatu keberatan pendahuluan dikaitkan dengan jasa.
Menurut pasal 79 ayat 8 peraturan Mahkamah tahun 1978, suatu perjanjian
diantara para pihak bahwa suatu keberatan pendahuluan dapat di dengar dan
ditentukan menurut jasa, akan dilaksanakan oleh Mahkamah Internasional.
Ternyata bahwa semua perkara diputuskan dengan suara terbanyak dari
hakim-hakim yang hadir, dan apabila perbandingannya sama, maka ketua sidang
dapat menentukan pihak yang menang. Akibat hukum dari keputusan Mahkamah,
diatur dalam pasal 59-61 statuta Mahkamah Internasional.
Keputusan Mahkamah hanya mengikat dan hanya mengenai perkara khusus (pasal
59), keputusan Mahkamah adalah final tanpa banding (pasal 60), tetapi dapat
diminta peninjauan kembali atas dasar ditemukannya faktor penentu yang baru,
dan permintaan itu di mohonkan untuk jangka waktu 6 bulan dan tidak lebih
dari 10 tahun setelah keputusan satukan (pasal 61), kecuali ditentukan lain
oleh Mahkamah, maka setiap pihak akan menanggung sendiri ongkos perkara.
Mahakamah telah memberikan sanksinya secara diam - diam dengan cara yang
terbaik untuk Negara-negara, dan dengan persetujuan khusus meminta kepada
Mahkamah Internasional untuk menyatakan prinsip - prinsip hukum
Internasional yang berlaku bagi suatu sengketa tertentu, sehingga dapat
melicinkan jalan bagi penyelesaian traktat atas dasar prinsip tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut,Lord Stowell mengatakan :
"Sesuai dengan praktek yang terjadi sekarang ini, ratifikasi berikutnya
merupakan suatu yang hakiki, dan hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa
hamper dalam sebuah traktat moderen, ratifiasi selalu ditentukan dengan
tegas, dan oleh karena itu diandaikan bahwa, kekuasaan para wakil, dibatasi
oleh sejara ratifikasi, karena dilihat dari keefektifan hukum maka dokumen
itu disempurna ".
Berdasarkan pendapat tersebut, yang dicapai bukanlah suatu pertimbangan atau
keputusan yang bersifat negatif, melainkan semata-mata sebagai suatu
penjelasan pendahuluan mengenai prinsip-prinsip atau kriteria yang akan
digunakan oleh Negara-negara yang bersengketa untuk suatu perjanjian dalam
memecahkan perbedaan-perbedaan tertentu.
Mahkamah Internasional dalam melaksanakan fungsi mengadili, benar-benar
memformulasikan prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku, sekaligus
menjelaskan metode praktis untuk pelaksanaan yang diberlakukan tersebut.
Hubungan Mahkamah Internasional dengan Dewan Keamanan dan Majelis umum
dalam Penyelesaian Sengketa Internasional
Perserikatan Bangsa
Bangsa yang didirikan pada tahun 1945, dikota San
Fransisco Amerika Serikat, yang salah satu tujuan utamanya adalah
penyelesaian secara damai sengketa-sengketa Internasional. Penyelesaian
sengketa Internasional secara damai, melibatkan tiga organ dalam
perserikatan bangsa-bangsa yang terikat dalam peneyelesaian sengketa
tersebut, yaitu Mahkamah Internasional, Majelis Umum dan Dewan Keamanan
sehingga hubungan yang erat antara ketiga organ tersebut, yang dapat
dijelaskan sebagai berikut :
- Sehubungan dengan hakim-hakim yang melaksanakan tugas mengadili pada
Mahkamah yang terdiri dari 15 orang hakim, dimana para calon hakim pada
Mahkamah dipilih oleh kelompok-kelompok nasional yang termuat dalam daftar
Mahkamah Arbitrase Permanent yaitu suatu lembaga yang ada sebelum
terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa. Berdasarkan daftar calon tersebut,
Majelis Umum dan Dewan Keamanan memilih anggota-anggota Mahkamah
Internasional dan dalam pemilihan mengharuskan mayoritas mutlak, baik pada
Majelis Umum, maupun pada Dewan Keamanan. Prosedur pemilihan yang bersamaan
oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan berlaku juga bagi kasus pengisian
lowongan yang disebabkan oleh kematian dan pengunduran hakim. - Apabila salah satu pihak yang berperkara, tidak mentaati keputusan
Mahkamah, maka Mahkamah yang tidak mempunyai kewenangan menjatuhkan sanksi
memberikan rekomendasi kepada pihak yang lain untuk menuntutnya.
0 Response to "PENGERTIAN UMUM SENGKETA INTERNASIONAL"
Post a Comment